Kamis, 29 Januari 2009

RANAH TAFSIR

BEBERAPA CATATAN TERHADAP AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA*)
Oleh : Rusydi.AM**)

A. PENDAHULUAN

Puji dan syukur mari sama-sama kita persembahkan ke hadirat Allah Swt. yang senantiasa mencurahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada ummat-Nya tanpa pilih kasih. Salawat dan salam untuk junjungan kita asyraf al-anbiya’ wa al-mursalin sayyidina Muhammadin Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu nabi Muhammad Saw.
Selanjutnya izinkanlah saya dalam kesempatan yang berbahagia dan berharga ini menyampaikan salam ta’zhim dan ucapan terima kasih saya kepada panitia dalam hal ini Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Dep. Agama RI yang telah memberi kepercayaan dan kesempatan kepada saya untuk membahas “Al-Qur’an dan Tafsirnya” yang disusun oleh Tim Departemen Agama RI, khususnya Juz 5 dan 6. Bagi saya hal ini merupakan penghargaan yang sangat tinggi.
Terus terang saya sampaikan “kegamangan” saya secara pribadi untuk membahas tafsir ini, karena ia ditulis oleh para mufassir yang menurut hemat saya memang mempunyai kompetensi di bidang tafsir al-Qur’an ini. Namun demikian, dengan segala keterbatasan, saya mencoba memberikan masukan-masukan kecil. 


B. PEMBAHASAN 

Ditinjau dari segi thariqah al-tafsir, kitab tafsir ini memakai metode tafsir tahliliy (terurai/analisis) walaupun tidak utuh, karena kitab ini melalui langkah-langkah sbb. :
  1. Penafsiran dilakukan secara runtut dari awal mushaf sampai akhirnya, bahkan setiap kelompok ayat tersebut diberi judul yang relevan dengan kandungan ayat-ayat tersebut.
  2. Menuliskan terjemahan ayat-ayat sesuai dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan memakai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
  3. Menganalisis makna mufradat (kosa kata) dari sudut pandang bahasa.
  4. Mengemukakan munasabah, khususnya munasabah antara suatu surat dengan surat sebelumnya, dan munasabah antara kelompok ayat dengan kelompok ayat sebelumnya.
  5. Mengemukakan sabab al-nuzul ayat yang tentu dimaksudkan untuk membantu memahami kandungan ayat.
  6. Mengemukakan tafsiran ayat, bahkan dalam uraiannya berusaha memasukkan corak “tafsir ‘ilmi” atau tafsir yang bernuansa sains dan teknologi sejalan dengan kemajuan zaman.
  7. Pada akhirnya membuat kesimpulan sebagai intisari ayat-ayat yang ditafsirkan.
Mencermati langkah-langkah penafsiran seperti tersebut di atas, memang sudah sesuai dengan langkah-langkah dalam menerapkan metode tahlilily (terurai/analisis). Namun patut juga diingat bahwa yang merupakan spesifikasi utama pada metode tahliliy, bukan menafsirkan al-Qur’an dari awal mushaf hingga akhirnya, akan tetapi terletak pola pembahasan dan analisisnya. Selama pemabahasan tidak mengikuti pola perbandingan seperti metode muqaran, atau pola topical pada maudhu’iy, dan tidak pula global seperti pada ijmaliy, maka tafsir tersebut dapat dikategorikan tafsir dengan metode tahliliy.

Selanjutnya bila dilihat dari aspek kosakata (al-mufradat), nampaknya telah ditampilkan kata-kata yang dipandang sulit, atau kata-kata musytarak. Lalu dijelaskan makna apa yang dimaksud dengan kosakata tersebut dalam ayat yang ditafsirkan. Dalam hal ini, agaknya perlu juga dipertimbangkan menambah penjelasan kosakata, misalnya makna مسافحين dan اجورهنّ dalam surat an-Nisa’ ayat 24. Begitu pula misalnya makna طولا dan العنت dalam surat an-Nisa’ ayat 25.
Adapun dalam hal munasabah, seperti disebutkan dalam Kata Pengantar, bahwa yang diterapkan dalam kitab tafsir ini hanya munasabah antara satu surah dengan surah sebelumnya dan munasabah antara kelompok ayat dengan kelompok ayat sebelumnya. Dalam hal ini, agaknya perlu juga dipertimbangkan bahwa pada kelompok-kelompok tertentu munasabah antara satu ayat dengan ayat sebelumnya tidak kentara, begitu pula antara satu kalimat dengan kalimat berikutnya pada ayat yang sama. Dalam kondisi seperti itu, perlu diberi penjelasan agar pemabaca tidak kebingungan. Penjelasan munasabah-nya itu dapat dikemukakan langsung diwaktu menafsirkan.

Sebagai contoh dapat dikemukakan disini surat an-Nisa’ ayat 29 :

يأيها الذين أمنوا لا تآكلوا أموالكم بينكم بالباطل الا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم ان الله كان بكم رحيما

Sekilas kurang kelihatan munasabah antara dua larangan di ayat ini, yaitu larangan “memakan harta sesama secara bathil” dan larangan “ membunuh diri”. Ayat ini berisi himbauan kepada orang-orang beriman agar tidak memakan harta sesama secara batil. Batil artinya melawan hak (illegal). Oleh karena itu, ayat ini berhubungan dengan hak dan kewajiban serta solidaritas sosial. Pengecualian dari melawan hak itu adalah dengan cara mu’amalah perdagangan (jual beli). Dalam hal ini, “membunuh diri sendiri” juga termasuk kategori melawan hak (illegal/batil). Itulah sebabnya membunuh diri dilarang oleh Allah. Ayat ini ditutup dengan pernyataan Allah : ان الله كان بكم رحيما Bila dihubungkan dengan pangkal ayat, maka larangan memakan harta sesama secara batil, pelaksanaan perdagangan berdasarkan suka sama suka (kerelaan masing-masing pihak) dan larangan membunuh, semuanya itu merupakan bukti dan wujud kasih sayang Allah.

Selanjutnya dalam penampilan asbab an-nuzul, memang sangat perlu sebagaimana telah dilakukan oleh penyusun, karena akan diketahui dalam kondisi dan konteks apa ayat itu diturunkan. Hemat penulis, akan lebih bagus juga digambarkan secara eksplisit bahwa hukum atau mau’izhah yang terkandung dalam ayat itu, bukan hanya relevan untuk peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat, akan tetapi juga berlaku sepanjang zaman dan di manapun. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan : العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب (yang menjadi patokan adalah keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab). Misalnya surat an-Nisa’ ayat 32 turun dalam kasus Ummi Salamah yang merasa iri terhadap kaum laki-laki, sehingga dia mengatakan kepada Rasulullah: “ ya Rasulullah ! Laki-laki ikut berperang, kami perempuan tidak, kami hanya menerima separuh warisan (dari bagian laki-laki). Dalam hal ini, ketentuan tidak boleh iri hati itu dan jumlah harta warisan yang diterima kaum perempuan tetap berlaku sampai sekarang. Dengan demikian, pembaca meyakini bahwa al-Qur’an mampu memecahkan problematika yang dihadapi masyarakat.

Di lain pihak, mungkin juga ada sabab an-nuzul yang tidak diungkapkan, mungkin juga disengaja atau tidak disengaja. Misalnya surat an-Nisa’ ayat 37, menurut mayoritas ahli tafsir—seperti diungkap an-Naisabury, turun berkenaan dengan orang Yahudi yang menyembunyikan sifat-sifat Rasulullah Saw., padahal, semuanya itu telah ditulis dalam kitab mereka (Taurat). ( An-Naisaburi, tt.: 112). Berdasarkan latar belakang turunnya ayat ini dipahami pula bahwa orang bakhil itu tidak hanya kikir dalam hal harta benda, akan tetapi juga tidak mau memberikan ilmu pengetahuan dan informasi yang bermanfaat termasuk dalam kateori bakhil.
Contoh lainnya adalah surat an-Nisa’ ayat 92 di mana dalam satu riwayat dikemukakan bahwa al-Hatrs bin Yazid dari suku Bani ‘Amr bin Lu’ay beserta Abu Jahl pernah menyiksa ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah. Pada suatu hari al-Hatrs hijrah kepada Nabi Saw.dan bertemu dengan ‘Iyasy di kampung al-Harrah. ‘Iyasy seketika menghunus pedangnya dan langsung membunuh al-Harts yang disangkanya masih bermusuhan juga (belum masuk Islam). Kemudian ‘Iyasy menceritakannya kepada Nabi Saw., maka turunlah ayat ini sebagai ketentuan hukum bagi pembunuh yang tidak sengaja (keliru) terhadap seorang Mukmin.
Dalam hal asbab an-nuzul ini, sepanjang ada riwayat mengenai hal itu, agaknya baik untuk dikemukakan. Urgensinya adalah untuk mengenal konteksnya, kenapa ayat tersebut diturunkan, begitu juga untuk melihat konteks kekiniannya.

Selanjutnya mengenai uraian tafsirnya sendiri nampaknya sudah mengacu kepada tafsir bi al-ma’tsur dengan mengkombinasikannya dengan tafsir bi al-ra’yi. Hal itu terlihat, dimana uraian-uraian ayat yang ditafsirkan telah diperkuat dengan ayat-ayat al-Qur’an yang senada, begitu juga dengan hadis-hadis. Sebagaimana diketahui, sebagian ayat menafsirkan ayat lain, begitu juga hadis berfungsi sebagai mubayyin al-Qur’an. Namun kita lihat, belum semua uraian ayat ditopang oleh ayat lain atau hadis. Jadi, tidak ada keseimbangan uraian; sebagiannya ditopang oleh ayat lain yang senada, bahkan ditambah dengan hadis, akan tetapi pada penjelasan ayat lainnya, tidak disebutkan ayat-ayat dan hadis yang mendukung. Sebagai contoh, dapat dilihat ketika menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 29, cukup banyak ayat-ayat lain yang senada dengan itu, begitu juga hadis Rasulullah Saw. yang mencela menguasai dan memakan harta orang lain secara bathil (melawan hak), dan juga anjuran untuk mencari harta dengan keringat sendiri, seperti berdagang dan lain-lain. Misalnya surat al-Baqarah : 188 :

ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها الى الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الناس بالاثم وانتم تعلمون

(Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui ).
Kata bathil dalam ayat di atas, diartikan segala sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama, bahkan juga tanpa mengindahkan undang-undang (hukum positif). Dengan demikian, menghindarkan diri dari memakan harta orang lain secara melawan hukum agama dan undang-undang, merupakan tuntutan yang terkandung dalam ayat di atas. Jadi, ia sejalan dengan surat an-Nisa’ ayat 29, di mana ada pengucalian, yaitu melalui jalan jual beli/perdagangan. Rasulullah saw. bersabda :

مااكل احد طعاما قط خيرا من أن يأكل من عمل يده وأن نبي الله داود عليه السلام كان يأكل من عمل يده - رواه البخاري

(Tidaklah seseorang memakan makanan sedikitpun yang lebih baik dari memakan hasil usahanya sendiri. Dan Nabi Allah Daud As memakan dari hasil usahanya sendiri. (H.R. Bukhari).
Begitu pula sabda beliau yang berbunyi :

 اعن نافع عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : التاجر الأمين الصدوق مع الشهداء يوم القيامة - رواه ابن ماجه

(Dari Nafi’, dari Ibnu Umar katanya, Rasulullah Saw. bersabda : Pedagang yang dapat dipercaya lagi jujur, kelak di hari kiamat bersama-sama dengan para syuhada’ ( H.R. Ibnu Majah).

Penulis menggaris bawahi dimasukkannya corak ‘ilmi atau tafsir yang bernuansa sains dan teknologi ke dalam tafsir ini, mengingat salah satu kemukjizatan al-Qur’an itu adalah “al-I’jaz al-‘ilmi”, di mana al-Qur’an memberi motivasi dan dorongan kepada kaum Muslimin untuk menguasai ilmu dan teknologi. Bahkan lebih dari itu, al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi, karena kandungan al-Qur’an mencakup segala sesuatu.

Di samping tafsir ilmi, agaknya juga akan lebih baik, bila corak “Adabi Ijtima’i” (Bahasa dan Sosial Kemasyarakatan) juga dimasukkan. Hal itu mengingat, bahwa al-Qur’an juga merupakan solusi terbaik bagi persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat.
Demikianlah beberapa catatan ringan yang dapat penulis kemukakan dalam kesempatan yang berharga ini, mudah-mudahan ada manfa’atnya.

و الله أعلم بالصواب

------------------------------------------------------------------------------------------------
*)   Disampaikan Dalam Musyawarah Kerja Ulama Tafsir Regional Sumatera di Palembang tanggal 16 – 17 Mei, 2005.
**)  Utusan MUI Sumatera Barat, sehari-hari Dekan Fak.Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang dan Guru Besar Ilmu Tafsir di Fakultas yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar