Kamis, 29 Januari 2009

DIKOTOMI ILMU PENGETAHUAN


Oleh : Asno Minanda.BY


A. PENDAHULUAN

Dikotomi ilmu pengetahuan merupakan wacana yang selalu di apungkan dalam dunia pendidikan Islam sampai dewasa ini. Islam menganggap ilmu pengetahuan sebagai sebuah konsep yang holistsis, dalam konsep ini tidak terdapat pemisahan antara pengetahuan dengan nilai-nilai. 
Selanjutnya apabila dikaji lebih lanjut bagaimana Islam memandang ilmu pengetahuan, maka akan ditemui bahwa Islam mengembalikan kepada fitrah manusia tentang mencari ilmu pengetahuan. Hal ini dapat diketahui ketika al-quran berbicara tentang menawarkan kepada jin dan manusia untuk menembus angkasa atau langit, ketika al-Qur’an berkata iqra’ dan juga ketika al-Qur’an bercerita tentang penciptaan bumi dan langit serta pertukaran siang dan malam. Kesemuanya itu menurut penulis merupakan sebuah indikasi bahwa sumber dari segala ilmu berasal dari Islam.
Sejarah telah mencatat masa kegemilangan diraih oleh oleh kerajaan Islam seperti abbasiyah dan mua’wiyah dibagdad dan dan di spanyol. Periode tersebut telah melahirkan banyak tokoh muslim seperti imam Malik, Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina dan sebagainya. Rentetan sejarah mengungkap bahwa ternyata para ilmuan tersebut tidak pernah memisahkan akan ilmu pengetahuan dengan agama. Ilmu pengetahuan dan agama mereka pahami sesuatu yang bersifat totalitas dan integral. Ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari agama itu sendiri. Bahkan menurus penulis ilmu pengetahuan tersebut bersumber dari agama. 


Argumen penulis dalam hal ini sederhana saja yakni karena Islam memiliki kitab yang memuat ilmu pengetahuan yang komprehensif dan sempurna. Hanya saja untuk pengembangan lebih lanjut diperlukan usaha yang dalam untuk mengungkap ilmu tersebut. Makalah ini mencoba mengungkap tentang sekelumit konsep Islam tentang ilmu pengetahuan, sejarah timbulnya dikotomi ilmu pengetahuan, serta integrasi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu ke-Islam-an.


B. PEMBAHASAN


1. Konsep Islam tentang Ilmu Pengetahuan


Epistimologi Islam mengandung sebuah konsep yang holistik mengenai pengetahuan. Di dalam konsep ini tidak terdapat pemisahan pengetahuan dengan nilai-nilai. Al-Qur’an menekankan agar umat Islam mencari ilmu pengetahuan dengan meneliti alam semesta ini, dan bagi orang yamng menuntut ilmmu pengetahuan diberikan derajat yang tinggi. Bahkan al-Quran menegaskan bahwa tidaklah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan. Dari ketegasan makna ayat tersebut maka dapat dipahami bahwa ternyata Islam tidak pernah mengdikotomikan ilmu pengeatahuan dan agama. Ilmu pengetahuan dan agama merupakan sesuatu hal yang harus dipahami sebagai suatu yang totalitas dan integral.


Kemudian Ziauddin Sardar mengemukakan sebuah artikulasi terbaik mengenai epistimologi ilmu pengetahuan yang diperolehnya dalam kitab pengetahuan karya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1058-1111). Al-ghazali seorang guru besar dari universitas Nizhamiyah Bagdad. Al- ghazali mengemukakan ilmu penngetahuan berdasarkan tiga kriteria:

a.Sumber

  • Pengetahuan yang diwahyukan; pengetahuan ini diperoleh khuasus oleh para nabi dan rasul. Manusia memiliki keharusan untuk mengikuti pengetahuan yang terdapat pada wahyu yang diturukan kepada Nabi dan Rasul-Nya.
  • Pengetahuan yang tidak diwahyukan; sumber pokok dari ilmu pengetahuan Ini adalah akal, penngamatan, percobaan, dan artikulasi (penyesuaian).
b. Kewajiban-kewajiban
  • Pengetahuan yang diwajibkan kepada setiap orang (fardhu al-‘ain); pengetahuan yang penting sekali umtuk keselamatan seseorang, misalnya etika sosial, kesusialaan dan hukum sipil.
  • Pengetahuan yang diwajibkan kepada masyarakat (fardhu al-kifayah): yaitu pengetahuan yang penting sekali untuk keselamatan seluruh masyarakat misalnya pertanaian, obat-obatan, arsitektur dan teknik mesin
c. Fungsi sosial
  • Ilmu-ilmu yang patut dhargai yaitu ilmu-ilmu sains yang berguna dan tidak boleh diabaikan karena segala aktivitas hidup ini tergantung padanya.
  • Ilmu-ilmu yang patut dikutuk; astrologi, magig, berbagai ilmu yang tidak bermanfaat.
Dari kerangka keilmuan di atas dapat dipahami bahwa antara agama dan sains tidak berdiri sebagai dua buah kultur yang saling berpisah tapi merupakan sesuatu yang integral. Pertentangan ilmu pengetahuan dengan agama terjadi pada abad pertengahan, setelah pelajar Yunani dari Konstatinopel ke Eropa. Sehingga terjadilah rasa permusuhan dan jurang pemisah antara ilmu pengetahuan dan agama.


2. Sejarah Timbulnya Dikotomi Ilmu Pengetahuan


Dikotomi ilmu pengetahuan merupakan sebuah paradigma yang selalu marak dan hangat diperbincangkan dan tidak berkesudahan. Adanya dikotomi pengetahuan ini akan berimplikasi kepada dikotomi pendidikan itu sendiri. Ada pendidikan berkecimpung pada ilmu pengetahuan modern yang jauh dari nilai-nilai agama, Ada pula pendidikan yang hanya konsen pada pengetahuan agama yang kadanngkala dipahami dengan penuh dengan kejumudan serta jauh dari ilmu pengetahuan. Memberikan implikasi yang jelek terhadap pendidikan agama itu sendiri. Secara teoritis dikotomi pendidikan adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu tidak dapat dimasukan kepada yang lainnya, atau sebaliknya.


Berangkat dari definisi di atas dapat diartikan bahwa makna dikotomi adalah pemisahan suatu ilmu menjadi dua bagian yang satu sama lainnya saling memberikan arah dan makna yang berbeda dan tidak ada titik temu antara kedua jenis ilmu tersebut.
Dilihat dari kaca mata Islam, jelas sangat jauh berbeda dengan konsep Islam tentang imlmu pengetahuan itu sendiri karena dalam Islam ilmu pengetahuan dipandang dengan sesuatu yang utuh dan integral.


Dewasa ini, bila dicermati para ilmuan cenderung memisahkan (dikotomi) antara ilmu agama dengan ilmu keduniaan. Sehingga hal inilah yang mendorong Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi untuk mendengungkan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan. Al-Faruqi mengungkapkan sebagaimana yang kutib oleb Samsul Nizar dan Ramayulis zaman kemunduran Islam telah membawa umat Islam berada ddi anak tangga-tangga bangsa-bangsa yang terbawah. Di samping itu al-Faruqi juga mengatakan bahwa ilmu tidak bebas nilai akan syarat dengan nilai. Mensikapi perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan adalah cukup dengan mengislamisasikan ilmu tersebut tidak perlu orangnya. Tujuannya adalah agar yang mempelajari ilmu tersebut bisa terpola lansung pemikiran dan tingkahlakunya. Untuk mengislamisasiakan ilmu pengetahuan, jalan yangharus dilakukan adalah 1) menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan dalam berpikir, 2) melakukan pencarian terhadap ilmu-ilmu modern, 3) lakukan pendekatan filsafat dalam ilmu pengetahuan.


Disisi lain, masyarakat muslim melihat akan kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Konsekwensinya adalah kaum muslim terkontaminasi oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi, dan ternyata westernisasi telah menjauhkan umat Islam dari al-Qur’an dan Sunnah. Sesungguhnya sesuatu yang sangat dilematis apabila ingin maju dengan meniru cara dan gaya Barat tetapi justru yang didapatkan adalah kehancuran. Semuanya disebabkan ketidakmampuan menfilter dari apa yang diadofsi dari Barat tersebut.


Dalam pengamatan penulis, setelah memahami berbagai literatur ternyata timbulnya membawa pada kesimpulan bahwa akar munculnya dikotomi ilmu disebabkan oleh proses rekonstruksi ilmu itu sendiri. Proses Rekontruktivisme tersebut adalah bahwa apa yang dilakukan al-Ghazali terhadap filsafat dan apa yang dibantah oleh Ibn Rusdy, dan apa yanng dipahami masyakat awam terhadap polemik tersebut sesungguhnya merupakan bagian rekonstruksi ilmu dan juga apa yang dilakukan oleh Barat dalam merekonstri ilmu telah memperdalam terjal terhadap pemahaman akan dikotomi ilmu pada masyarakat umumnya. Setidak-tidaknya menurut penulis ilmu pengetahuan itu ada dua. Pertama terbagi akan tiga yakni :
  1. Ilmu Alam (Natural Science)
  2. Ilmu Sosial (Social Science)
  3. Ilmu Agama
Pendapat kedua, berpendapat bahwa ilmu pengetahuan itu dibagi dua yakni :
  1. Natural Science
  2. Natural SocialUntuk ilmu agama dimasukan atau dikelompokan ke dalam social science.
Demikianlah bila dicermati perkembangan rekonstruksi ilmu pengetahuan yang menyebabkan dengan sendiri melahirkan terjadinya dikotomi pendidikan.


C. INTEGRASI ILMU-ILMU UMUM DAN ILMU-ILMU AGAMA


Salah satu upaya yang dilakukan oleh para pemikir Islam adalah pengintegrasian kembali ilmu umum dan ilmu keIslaman. Istilah yang popular dalam konteks integrasi ini adalah Islamisasi. Menurut Imadudin Khalil Islamisasi ilmu penngetahuan berarti melakukan suatu aktivitas keilmuan seperti mengungkap, mengumpulkan, menghubungkan dan menyeberluaskannya menurut sudut pandang Islam terhadap alam, kehidupan dan manusia. Sedangkan menurut al-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan adalah mengIslamkan disiplin-disiplin ilmu atau lebih tepat menghasilkan buku-buku pegangan pada level universitas dengan menuangkan kembali disiplin disiplin ilmu modern dengan wawasan (vision) Islam.


Maka yang menjadi substansi dalam Islamisasi ilmu pengetahuan adalah meletakan prinsip-prinsip tauhid sebagai landasan epistimologi ilmu pengetahuan. Ide Islamisasi ilmu pengetahuan yang digulirkan al-Faruqi ini merupakan ide besar yang sempat memukau ilmuan muslim di dunia dan juga berbagai macam respons yang muncul terhadap konsep al-faruqi.
Maka konsep yang ditawarkan dalam mensikapi dikotomi pengetahuan ini adalah dengan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan. Bagaiamana ilmu-ilmu yang berkembang diIslamisasikan. Sebagai tolak ukurnya adalah penyesuaian dengan al-Qur’an dan Sunnah.


D. PENUTUP


Sebagai kesimpulan dari paparan makalah ini adalah Sejarah dikotomi tersebut sudah dimulai sejak abad pertengahan atau masa kemajuan Islam periode Abbasiyah. Dalam Islam sesungguhnya tidak ada pemilahan ilmu pengetahuan dan agama. Ilmu pengetahuan dan ilmu agama adalah merupakan sesuatu yang integral. Bila ilmu disikapi dengan dikotomi maka tentu akan melahirkan pemikiran yang berbeda dalam membangun peradaban dunia, namun bagaimana mengintegralkan dikotomi pengetahuan tersebut. Munculnya dikotomi dalam masyarakat muslim tidak lebih dari terkontaminasinya kaum muslim terhadap kemajuan Barat dan ketidakmampuan kaum muslim memfilter dalam reformasi. 


Berikutnya ketidakmampuan kaum muslimin meyakin dangan segala action terhadap dunia bahwa sumber segala ilmu adalah al-Qura’an dan Sunnah sebagai kitab suci yang diyakininya. Di Samping itu, Barat semenjak dahulu telah mencoba merekontruksi berbagai konsep ilmu sebagai bentuk kemajuan mereka dalam bidang sains. Benar atau tidaknya sesungguhnya Barat dengan segala kemajuan ilmunya mencoba melihatkan kepada dunia Islam bahwa tanpa al-Qur’an dan Sunnah Rasul pun mereka bisa maju dalam membangun peradaban dunia. Konsep yang ditawarkan dalam mensikapi dikotomi ini adalah apa yang yang disebut oleh al-Faruqi dengan Islamisasi ilmu yakni proses filterisasi terhadap ilmu-ilmu yang dikembangkan Barat dengan landasan atau disesuaikan dengan al-Qur’an dan Sunnah.




Dikutip dari berbagai sumber



Tidak ada komentar:

Posting Komentar