Rabu, 11 Februari 2009

SISTEM PENDIDIKAN SURAU



Oleh : Nelson

I. Pendahuluan

Di Minangkabau, tumbuh dan berkembangnya ajaran Islam adalah dimulai dari munculnya sebuah lembaga pendidikan tradisionil yang disebut dengan istilah “surau”. Surau adalah tempat belajar mengaji, belajar pidato agama dan adat, tempat tidur bagi kaum muda yang berumur 7 -12 tahun. Sedangkan halaman surau dipergunakan untuk menjadi sasaran silat di mana anak-anak sian (baca=murid) mengaji dilatih seni bela diri.


Bagi kaum tua surau biasanya dipergunakan ibadah shalat berjamaah, tempat bermusyawarah, tempat mendalami tarekat, dan tak jarang pula surau adalah tempat selawat dulang. Kemudian juga surau djadikan sebagai tempat berzanji, serta latihan pidato adat. Di samping itu surau sebagai sarana malapeh badil badil betung ( baca=meriam bambu) pada bulan puasa.

Dalam tatanan adat di Minangkabau, maka surau adalah dimiliki oleh kaum adat, sehingga terkenallah surau suku (surau kaum), dan surau dagang. Surau suku adalah surau yang didirikan oleh salah satu suku adat seperti bodi, caniago, piliang dan suku simabur. Oleh karena itu surau suku hanya dipergunakan untuk keperluan orang atau kaum suku itu sendiri.


Adapun surau dagang adalah surau yang didirikan untuk orang dagang, artinya surau tempat berkumpulnya anak dagang dari berbagai negri dilingkungan wilayah Minangkabau. Sementara pemimpin surau dagang biasanya dipercayakan kepada inyiek dagang. Inyiek dagang (mamak tepatan, atau orang tua tempat melaporkan diri sebagai anak rantau. Dengan demikian semua kegiatan-kegiatan keagamaan dapat dilaksanakan di surau dagang, dan dipimpin langsung oleh mamak tepatan.


Surau suku, surau dagang memiliki karakteristik-karakteristik tertentu, yang membedakannya dengan surau-surau yang lain. Kemudian materi ajar yang dikembang di surau-surau itu juga agak lebih spesifik dibandingkan dengan surau-surau yang lainnya, dan surau-surau tersebut memiliki literatur keagamaan yang berbeda pula.
Dalam makalah ini akan dibahas sekitar masalah sistem pendidikan surau yang meliputi karakteristik, isi dan literatur keagamaan yang di laksanakan dilaksanakan dan dikembangkan.


II. Pembahasan


1. Karakteristik

Surau atau langgar yang mula-mula merupakan kebudayaan asli dalam rangka kepercayaan asli, setelah Islam masuk menjadi bangunan Islam. Dahulu bagunan ini bertugas sebagai tempat bertemu, berkumpul, berapat dan tempat tidur pemuda-pemuda kampung (kadang kadang juga bagi yang sudah kawin), yang bersifat sakral.
Surau dalam pola adat Minangkabau adalah kepunyaan kaum atau indu. Indu ialah bagian dari suku, dapat disamakan dengan clan. Pada awalnya surau untuk tempat bermalam bagi bujang-bujang dan orang-orang tua indu, disaming itu juga sebagai tempat rapatnya. Indu dalam pertumbuhannya mula-mula mendirikan sebuah rumah gadang. Untuk melengkapi rumah ini dibangunkan pula surau untuk keperluan di atas. Dalam perkembangan kaum jumlah rumah gadang menjadi lebih dari satu. Dengan meningkat jumlahnya, jumlah surau juga tidak ikut meningkat.


Pada tahap berikutnya surau telah memiliki fungsi yang sangat urgen, di mana dengan kekhasannya masing-masing, ia telah mengambil perang sebagai wadah pendidikan keagamaan dengan pola-pola dan ciri-ciri tertentu. Dalam sebuah uraian dikatakan, bahwa fungsi surau tidak lagi sekedar tempat melakukan ibadah dan kegiatan-kegiatan keagamaan saja. Akan tetapi lebih dari itu surau juga menjadi sebuah institusi yang memiliki struktur, tradisi yang cukup khas. Kekhasan surau tidak hanya dari aspek kepemilikan saja, akan tetapi juga fungsi seperti pusat kegiatan kesenian anak nagari, pengembangan tarekat dan lain-lain.


Mengenai kesenian anak nagari ini penulis masih menemukan kesenian selawat dulang, salung, dan kesenian rebana, serta di halaman surau diadakan latihan silat randai. Salah satu randai yang masih melakukan latihan di sosok laman (di halaman) surau melayu seperti randai sutan pamenan. Randai ini terletak di Balimbing Batusangkar. Sosok laman randai tersebut dekat sekali dengan rumah adat Kampai Nan Panjang yang sudah berumur kira-kira 350 tahun, yang merupakan kepunyaan suku melayu. Rumah adat ini merupakan salah satu bukti sejarah Minagkabau yang terus di lestarikan samapai saat ini. Sementara itu keduanya terletak berdampingan.


Kembali kesejarah masa awal datangnya Islam ke Minangkabau, surau juga mengalami islamsasi, tanpa harus mengalami perubahan nama. Di beberapa wilayah, surau-surau Hindu-Budha, khususnya yang terletak di tempat terpencil, seperti di puncak bukit, dengan cepat menghilang di bawah pengaruh Islam. Surau Islam, kemudian umumnya ditemukan di dekat kawasan pemukiman kaum muslimin. Tetapi sisa-sisa kesakralan surau dalam beberapa hal tetap kelihatan. Di Minangkabau, misalnya banyak surau memiliki beberapa puncak atau gonjong, yang selain merefleksikan mitos tertentu, tetapi juga belakangan dipandang sebagai simbol adat. Terlepas dari bentuk arsitekturnya, surau menjadi bangunan keislaman. Istilah surau kemudian mengacu kepada suatu “mesjid kecil”, yang biasanya tidak digunakan untuk shalat Jum’at. Surau, bukanlah masjid dalam pengertian umum, meskipun ia juga digunakan untuk berbagai kegiatan keagamaan.

Menganalisa arsitektur surau, penulis sangat sependapat dengan penjelasan di atas, sebab memang pada awalnya sebelum surau-surau berubah menjadi mushalla, ia masih berada dalam bentuk arsitektur aslinya. Surau bagonjong memiliki bentuk seperti tanduk kerbau timbal balik, dan menghadap ke beberapa arah. Sedangkan atap surau masih berasal dari ijuk yang berasal dari batang aren atau enau yang ditata dengan rapi sehingga air hujan pun tidak sampai membasahi bahagian dalam surau. Akan tetapi atap ijuk atau serabut aren tersebut sangat mudah menumbuhkembangkan lumut.
Lain halnya dengan kerangka bangunan yang terdiri dari tonggak-tongak yang berasal dari batang juar semacam kayu keras yang direndam atau dibenam didalam tanah beberapa waktu lamanya sehingga ia menghitam dan sangat kuat. Sementara kayu tempat pemasangan atap berasal dari pelupuh atau bambu yang dibelah dan dibenamkan juga dilumpur, sehingga ia menjadi keras dan tahan lama pula. Sedangkan untuk pemasangan biasanya dilakukan dengan pasangan berdempetan luar dan dalam dengan tali pengikat biasanya dari ijuk yang sudah dijilid atau dijadikan tali temali.


Dalam sejarah Minangkabau dipercayai bahwa surau besar yang pertama didirikan raja Aditiyawarman tahun 1356 di kawasan Bukit Gombak. Akan tetapi surau Islam model pertama adalah surau syech Burhanudin di Ulakan, Pariaman. Surau syech Burhanudin berfungsi sebagai pusat-pusat tarekat, terutama tarekat syatariah, yang diterima oleh syeck Burhanuddin dari Syech Abdurrauf. Selain itu ada juga surau-surau yang menganut tarekat naqsyabandi.
Surau pada masa Syekh Burhanuddin dan murid-muridnya juga berfungsi sebagai pusat-pusat tarekat, terutama Syattariyah, yang diterima Syekh Burhanuddin dari Syekh Abdurrauf. Selain itu, juga terdapat surau-suaru yang menganut tarikat Naqsyabandiyah. Dalam masa hidup Syekh Burhanuddin, surau Ulakan mencapaiu tingkat otoritas keagamaan yang tinggi, sehingga tidak ada ulama yang berani mempertanyakannya. Tetapi menjelang akhir abad18 muncullah unsur-unsur yang menggugat otoritas Surau Ulakan. Cukup mencengangkan, para penggugat, yang berupayta melakukan pembaharuan keagamaan ini, justru pernah mendapatkan pendidikan di Surau Ulakan. Pada masa ini pula surau telah memapankan kedudukannya yang mengatasi kesetiaan kepada nagari dan suku, dan menjadi institusi supra-nagari.


Surau memainkan perannan penting dalam gelombang pertama pembaharuan Islam di Minang kabau sejak akhir abad 18. seruan kembali kepada syari’at yang lebih awal bergema di kalangan pengikut tarekat di Timur Tengah dan Anak Benua India, juga menemukan momentumnya di kalangan surau. Momentum pembaharuan ini semakin kuat dengan semakin terbukanya kontak dengan Mekkah dan Madinah. Pembaharuan ini mengarah pada penekanan yang lebih kuat kepada syrai’ah. Dikalangan surau Syattariah sendiri terdapat usaha-usaha membangkitkan kembali penekanan khusus yang diberikan Abdurra’uf Singkil terhadap syari’ah. Usaha-usaha itu diwujudkan antara lain dengan menekankan pentingnya pelajaran fiqh, Al-Qur’an dan Hadist dalampendidikan surau. Tetapi pembaharuan ini menimbulkan kontroversi hebat, baik antara suatu suaru dengan surau lain antara surau dengan masyarakat luas. Dalam beberapa kasus, petikaian menimbulkan perkelahian terbuka antara pengikut surau tertentu melawan surau lainnya.

Surau pada umumnya dimiliki Tuanku Syekh, yang bila ia wafat digantikan anak lelakiatau menantu laki-lakinya. Tuanku Syekh biasanya bermukim pada bangunan khusus di komplek surau. Sebuah surau besar bisa memiliki tidak kurang dari 20 bangunan, termasuk surau-surau kecil yang didiami kelompok murid sesuai dengan daerah asalnya. Contoh tipikal surau semacam ini adalah surau Batu Hampar Payakumbuh. Surau yang didirikan Syekh Abdurrahman (1777-1888) ini memiliki hampir 30 bangunan, termasuk bangunan utama, bangunan untuk tamu, surau-surau kecil untuk murid, dan bangunan khusus untuk suluk.


Para pelajar di surau pada masa awal disebut “murid”. Ini menunjukkan sifat khas surau, karena “murid” adalah sebuah teminologi sufi. Dalam perkembangan lebih lanjut, mereka disebut (urang siak) (Ar. Fakir). Penggunaan istilah “pakih” menunjukkan kecenderungan baru penekanan pada fiqh atau syari’ah pada umumnya.

Dalam pendidikan surau, tidak ada peningkatan atau kelas. Kadang-kadang ada semacam pembagian, tetapi ini didasarkan pada tingkat kompetensi atau penguasaan ilmu tertentu, bukan pada jumlah tahun yang dihabiskan belajar di surau. Metode utama yang dipakai dalam proses belajar mengajar adalah ceramah, pembacaan dan penghafalan, yang pada lazimnya berpusat pada halaqah. Banyak surau yang juga mengambil spesialisai dan terkenal dalam bidang ilmu tertentu. Surau kamang terkenal dengan kekuatannya pada ilmu alat, yakni tentang Bahasa Arab, surau Kota Gedangdalam ilmu mantiq ma’ani, Surau Sumanik dalam tafsir dan fara’id, Surau talang dan Surau Salayo dalam bidang nahwu, Surau Kota Tua dalam bidang tafsir. Sebuah kitab tipikal Syattariyah yang ditulis seorang guru Surau Ulakan pada 1757 mengungkapkan berbagai mata pelajaran yang diberikan kepada murid-murid, termasuk Bahasa Arab, tafsir dan bahkan pengobatan.

Surau dengan sistem pendidikannya yang khas kembali mencapai puncak kejayaannya setidaknyha hingga dasawarsa kedua abad 20 , ketika pendidikan sekuler Belanda dan madrasah diperkenalkan kelompok Muslim modernis. Bukti-bukti menunjukkan bahwa pendidikan surau tetap memainkan peran penting bagi masyarakat Islam Minangkabau sepanjang abad 19. Menurut laporan Belnda tahun 1969 hampir tidak ada desa di Minagkabau yang tak mempunyai surau, dimana sedikitnya diberikan pelajaran membaca Al-Qur’an, Hadist, Bahasa Arab dan pengetahuan-pengetahuan besar tentang Islam. Menurut laporan itu, setidaknya terdapat 15 surau besar di Minagkabau darek (dataran tinggi), yang terus mempertahankan eksistensi mereka sejak abad 18.


Pamor surau mulai terancam ketika Belanda mendirikan sekolah nagari (volkschoolen) di berbagai desa sejak tahun 1825. sekolah-sekolah ini pada mulanyha didirikan untuk mempersiapkan tenaga kerja pada berbagai sektor yang diciptakan Belanda. Semenjak itu, sejak awal 1900-an gelombang besar kedua pembaharuan Islam kembali melanda Minangkabau. Kali ini dibawa murid-murid Syekh Ahmad Khatib. Mereka yang biasa disebut Kaum Muda ini dengan sengit menyerang Kaum Tua, yang pada umumnya adalah para pemimpin dan pengajar di surau-surau. Kaummuda menuduh durau dengan praktek tarekatnya, penuh dengan bid’ah dan khurafah, dan karena itu perlu diberantas. Karena itulah, Kaum Muda mendirikan madrasah moderen sebagai alternatif pendidikan surau. Dan mereka sukses besar dengan upaya ini, sehingga bahkan banyak surau yang ditransformasikan menjadi madrasah. Akibatnya murid surau merosot hebat. Tahun 1933, surau dilaporkan memiliki murid hanya sekitar 9.285 orang, sementara madrasah mempunyai 25.292 pelajar. Dalam masa kemerdekaan, hanya beberapa surau saja yang bertahan, dan bahkan dimasa-masa lebih akhir sebagainya mulai menamakan diri sebagai “pesantren”. Sedangkan surau sendiri kemudian lebih sekedar tempat belajar membaca AL-Qur’an atau arena sosialisasi anak-anak dan remaja.


Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih diseputar belajar huruf hijaiyah dan membacaAl-Qur’an, disamping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti ke-imanan, akhlak, dan ibadat. Pada umumnya pendidikan ini hanya dilaksanakan pada malam hari.
Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yakni :

  1. Pengajaran AL-Qur’an. Untuk mempelajari AL-Qur’an, ada dua macam tingkatan. Pertama, Pendidikan rendah. Yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Al-Qur’an dan membaca Al-Qur’an. Disamping itu, juga dipelajari cara berwudhu dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktek dan menghafal, keimanan-terutama sifat 20-dengan metode menghafal melalui lagi, dan akhlak yang dilakukan dengan metode cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya. Kedua, Pendidikan atas. Yaitu pendidikan membaca Al-Qur’an dengan lagu, qasidah, berzanji, tajqid, dan kitab perukunan.
  2. Setelah menamatkan kedua jenis pendidikan diatas, kemudian siswa diperkenalkan ke jenjang pendidikan selanjutnya, yaitu pengajian kitab. Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi : ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqh, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahas Melayu. Selain itu, baru diterangkan maksudnya. Penekanan pengajaran pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara melafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pendidikan untuk jenjang pendidikan ini biasanya dilakukan pada siang maupun malam hari.
Lembaga pendidikan yang lebih penting yang berpengaruh di Minagkabau adalah Sumatera Tawalib. Sekolah ini tumbuh dari suatu surau yang disebut Surau Jembatan Besi yang mulanya juga memberikan pelajaran agama secara tradisional. Pelajaran-pelajaran yang biasa diberikan seperti fiqh dan tafsir Al-Qur’an merupakan pelajaran utama. Dengan masuknya Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul mengajar di surau ini setelah kembali dari Mekkah tahun 1904, pelajaran lebih menekankan pada ilmu alat berupa kemampuan menguasai Bahasa Arab, dan cabang-cabangnya.


Tekanan padapelajaran ini dimaksudkan agar siswa mempelajarai sendiri kitab-kitab yang diperlukan, dan dengan demikian lambat laun mengenal istilah Islam dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Maksud terakhir ini hanya dapat diwujudkan dengan berdirinya Sekolah Thawalib. Bagindo Jamaluddin Rasyad, yang baru kembali dari Eropa pada tahun 1915 memprakarsai rapat umum di Padang Panjang. Pemikiran yang diberikan dari tokoh ini adalah pentingnya organisasi kyang mengilhami para pelajar Surau Jembatan Besi berpikir tentang usaha mendirikan organisasi.


Dari ide tersebut lahirlah organisasi yang disebut “Perkumpulan Sabun”, karena organisasi ini memenuhi kebutuhan sehari-hari para pelajar dari menjual sabun. Aktivitas organisasi ini berkembang secara pesat hingga mampu mengaji para guru yang mengajar di surau. Tahun 1918 organisasi ini berubah menjadi Sumatera Thawalib.


Disurau ini Syekh Burhanuddin mengajarkan shalat dan mendirikan tarekat (suluk) dan syiar Islam lainnya. Melaluimateri pelajaran yang diajarkan disurau-surau menurut Maidir Harun dibedakan pada dua tingkatan, pertama : mata pelajaran tentang dasar-dasar agama islam dan membaca atau mengaji Al-Qur’an. Kedua : mata pelajaran tentang isi (kandungan) buku-buku ilmu agama Islam yang sering disebut dengan belajar membaca kitab. Akan tetapi sebelum sampai pada tingkat ini murid-murid diajarkan terlebih dahulu ilmu-ilmu bantu (ilmu alat) sepertu nahwu, saraf dan balaghah. Menurut Azyumardi Azra materi pendidikan yang diajarkan disuaru-suaru meliputi pelajaran membaca AL-Qur’an, Hadist, Bahasa Arab dan pengetahun-penghetahuan dasar tentang keislaman. Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa salah satu dari komponen pendidik yaitu : materi pelajaran telah dilaksanakan dalam pembelajaran walaupun belum lengkap tetapi setidak-tidaknya sudah sesuai dengan zamannya pada waktu itu.


Pada pengajaran Al-Qur’an materi yang diajarkan pada waktu itu masih sekitar belajar huruf-huruf hijaiyah dan seterusnya memahami cara-cara berwudhu dan cara-cara melaksanakan shalat yang dilakukan dengan metode praktek dan hafalan. Materi pelajaran keimanan diajarkan sifat dua puluh dengan jalan menghafal, dengan dilagukan dan pelajaran akhlak diajarkan dengan memakai metode cerita seperti kisah-kisah para Nabi dan orang-orang sholeh lainnya. Termasuk sahabat Nabi dan ulama-ulama termashur. Setelah siswa bisamembaca AL-Qur’an diadakan khatamAl-Qur’an dan dilanjutkan denganmembaca Al-Qur’an dengan irama, tajwid, qasidah dan albarzanji.


Setelah murid-murid bisa membaca Al-Qur’an,kemudian murid-murid mengaji diperkenalkan ke jenjang selanjutnya yaitu pengajian kitab. Materi pengajian kitab meliputi : ilmu nahwu, saraf, balaghah, ilmu fiqh, ilmu tafsir dan ilmu-ilmu lainnya. Adapun cara pengajarannya adalah dengan membaca sebuah kitab dalam Bahasa Melayu, selanjutnya Syekh menjelaskan maksud dari materi yang diajarkan dan pengajaran pada jenjang ini masih pada aspek hafalan.
Metode hafalan pada pengajaran pengajian kitab dengan dilagukan membacanya biar murid-murid cepat menghafalnya. Pelaksanaan pendidikan biasanya dilakukan pada malam hari tetapi ada juga yang mengajarkan pada siang hari.


Kitab rujukan yang dipakai oleh para syekh dalam melaksanakan proses belajar mengajar dapat dibedakan pada :
- Kitab fiqh yang dipakai biasanya sesuai dengan mazhab Imam Syafi’i.
- Kitab Tauhid dan ilmu Kalam yang sesuai dengan paham Asyiriah contoh
- Kitab-kitab yang terkenal pada masa itu antara lain : Minhaj al Thalibin karya Imam Nawawi.
- Kitab tafsir Jalalen karya Jalahuddin al Suyuti dan Jalahuddin al Mahalli.
- Kitab Nahwu Sarafdan Fiqh memahami kitab al Rumiyah, mantan Bina, Fathul Qarib.


Lembaga pendidikan surau yang bisa dikategorikan lembaga pendidikan tradisional dalam proses pembelajaran menggunakan metode halaqah dengan pendekatan ceramah dan hafalan. Walaupun dalam mempelajari kitab diselingi juga dengan tanya jawab dan terjadilah diskusi antara murid dengan guru. Biasanya guru membaca teks atau matan lalu dijelaskan maknanya oleh guru, apabila maksud kandungan matan yang dijelaskan syech belum dipahami oleh murid-murid, maka murid-murid boleh bertanya kepada gurunya. Agaknya kebiasaan belajar seperti yang dipaparkan diatas telah memberi peluang dan merangsang penggunaan metode tanya jawab dan metode tanya jawab dan metode diskusi.


Disamping materi-materi pelajaran yangdiutarakan diatas dijelaskan oleh Duski Samad bahwa di surau juga diberikan pelajaran kesenian anak nagari seperti silek atau silat dalam bahasa Indonesia, indang, dabuih, tari piring, dan kesenian lainnya. Kesenian tersebut dilaksanakan setelah mengaji baik pengajian Al-Qur’an atau mengaji kitab dimalam hari. Orang tua menjadi pendamping dan pembimbing dalam kegiatan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar